MENISIK KEBERADAAN BURUNG DI SEPANJANG MANGROVE SEGARA ANAKAN (1)

~ ASIAN WATERBIRD CENSUS 2023 ~

Part 1

Anggota Mapala Silvagama yang Mengikuti Kegiatan AWC 2023

PEMBUKAAN

Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Salah satu kekayaan tersebut adalah kekayaan sumber daya alam. Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan flora dan fauna dengan biodiversitas yang tinggi. Widjaja, dkk. (2014) menjelaskan bahwa hingga saat ini, Indonesia memiliki keanekaragaman jenis 8.157 jenis fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan) dan 1.900 jenis kupu-kupu. Dalam kasus yang lebih spesifik, secara keseluruhan Indonesia memiliki 1.812 jenis burung (Priambodo, U. 2021).

Burung adalah indikator yang baik untuk mengidentifikasi daerah yang kaya keragaman hayatinya, termasuk perubahan dan masalah lingkungan yang ada.  Burung relatif mudah ditemukan di alam. Hal tersebut dikarenakan oleh cara pergerakan burung yang mudah terlihat, yaitu dengan terbang menggunakan sayap yang dimilikinya. Kegiatan identifikasi burung perlu dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman spesies burung. Burung mendiami segala bentuk habitat, mulai dari hutan, lahan terbuka, perkotaan, hingga pantai dan lahan basah. Salah kegiatan rutin dalam rangka pendataan (inventarisasi) burung, tepatnya pendataan burung air adalah Asian Waterbird Census atau yang biasa disingkat AWC.

ASIAN WATERBIRD CENSUS

Perahu 1 yang membawa peserta AWC 2023

Asian Waterbird Census merupakan kegiatan sensus burung air Asia yang dilakukan secara tahunan dan bersifat sukarela. Kegiatan AWC dilakukan untuk mengetahui data jumlah dan jenis burung yang ditemui pada suatu tempat di kawasan Asia. Selanjutnya data dari setiap lokasi tersebut akan dikumpulkan dan dibuat satu data mengenai burung air di Asia. Data tersebut dapat dibandingkan dengan data-data sebelumnya untuk mengetahui fluktuasi jenis-jenis burung yang dapat dikaitkan dengan beberapa aspek seperti kondisi lingkungan dan gangguan habitat. Hal ini menjadi salah satu upaya terkait konservasi burung air serta lahan basah. Kegiatan AWC di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 2015 dan terus dilakukan hingga saat ini. Pada tahun 2023, kegiatan AWC Indonesia diselenggarakan oleh Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Spesies, & Genetik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia; Yayasan Ekologi Satwa Alam Liar Indonesia, Burung Laut Indonesia, dan Burungnesia; Wetlands International Indonesia. Salah satu lokasi diadakannya kegiatan AWC tahun 2023 adalah di kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah.

LOKASI DAN PESERTA

Foto Bersama Peserta AWC 2023 di Depan Kantor BKSDA

Mapala Silvagama turut ikut serta dalam melakukan kegiatan pendataan burung air tahunan ini. Bersama dengan Himpunan Mahasiswa Bio-Explorer (HMBE) Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, kegiatan AWC 2023 berjalan dengan baik. Kegiatan AWC 2023, dalam pelaksanannya dibantu oleh pihak BKSDA Cilacap dan BKSDA Semarang yang ikut memandu proses jalannya pengambilan data pendataan burung air di sepanjang Segara Anakan. AWC 2023 di Segara Anakan dilakukan mulai tanggal 10 hingga 12 Februari 2023. Kegiatan tersebut merupakan bentuk keberlanjutan dari program yang sama yang dilakukan pada tahun sebelumnya yang juga berlokasi di kawasan Segara Anakan.

Bendera Mapala Silvagama yang Berkibar di atas perahu

SEGARA ANAKAN

Badan air dengan vegetasi mangrove di tepiannya

Segara Anakan merupakan kenampakan alam berupa perairan lahan basah berupa laguna yang terbentuk dari muara beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang membawa substrat sehingga memungkinkan terjadinya endapan sedimentasi. Keberadaan Pulau Nusakambangan di selatan menjadi sebuah pulau penghalang bagi ombak dari lautan lepas, sehingga memunculkan ekosistem yang khas. Minimnya ombak, adanya sedimentasi, dan merupakan wilayah pasang surut, menjadikan daerah ini menjadi tempat tumbuhnya ekosistem mangrove paling luas di Pulau Jawa yang menjadi tempat perlindungan bagi beberapa hewan darat, burung, serta merupakan habitat bagi biota perairan.

KAMPUNG NELAYAN SENTOLO KAWAT

Lahan Untuk Menjemur Ikan di Kampung Nelayan

Perjalanan hari pertama dimulai dengan menaiki kapal di Dermaga Sentolo Kawat yang merupakan daerah kampung nelayan. Daerah ini memang layak dijuluki sebagai kampung nelayan. Ketika pertama kali mengunjungi kampung ini, pemandangan pertama yang terlihat adalah hamparan lahan yang dipenuhi ikan hasil tangkapan warga yang sedang dijemur, puluhan perahu yang terparkir di dermaga, serta keberadaan pasar ikan yang menjadi tempat transaksi jual beli bahan makanan dari laut. Selanjutnya kapal kami pergi meninggalkan dermaga untuk menuju lokasi pengambilan data. Selepas meninggalkan dermaga, pemandangan yang disuguhkan adalah pemandangan kawasan industri cilacap. Di sisi kanan terdapat industry oleh Pt. Pertamina dengan cerobong asap dan bangunan-bangunan megah pengolah minyak. Di sebelah kiri terdapat tambang batu kapur dengan kapal-kapal besar yang hilir mudik mengangut material dari Pulau Nusakambangan tersebut.

AKTIFITAS DI PERAIRAN

Perahu nelayan yang beraktivitas di badan air

Pada hari pertama, kelompok kami dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing menaiki perahu untuk menuju lokasi pengamatan yang berbeda. Perahu 1 menuju Dusun Bondan dan perahu 2 menuju Dusun Motean. Setelah meninggalkan kawasan industri, perahu mulai memasuki hamparan mangrove dengan kanal-kanal untuk tempat lewatnya perahu. Dapat diamati terdapat banyak nelayan yang memasang jala untuk menangkap ikan di kanal-kanal tersebut. Selain menebar jala, metode yang seringkali diggunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan adalah dengan memancing secara manual. Selain menjadi nelayan, masyarakat yang memiliki perahu juga bekerja di bidang penyedia jasa penyebrangan. Masyarakat dari daratan Cilacap di Pulau Jawa yang hendak menuju gugusan pulau-pulau kecil yang terdapat di desa di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan tersebut menggunakan jasa penyeberangan tersebut sebagai kendaraan untuk menyebrang dan membawa barang. Perahu yang digunakan mulai dari perahu kecil untuk mengangkut penumpang hingga perahu compreng yang bisa untuk membawa beberapa sepeda motor.

DUSUN BONDAN

Air sedang pasang saat perahu 1 melaju perlahan di kanal kecil yang dipagrai oleh vegetasi mangrove dan alang-alang yang tinggi. Burung-burung bersembunyi di balik rerimbunan vegetasi tersebut. Namun, suara dan kicauan yang dihasilkan burung-burung tersebut menjadi penanda bagi kami bahwa mereka ada di dalam sana,menunggu waktu yang sesuai untuk keluar dan menampakkan diri. Burung-burung yang ditemui di perjalanan kami data dengan seksama. Kira-kira begitulah gambaran menuju Dusun Bondan, sebuah dusun kecil yang cukup terisolir. Dusun tersebut terletak di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Rumah- rumah warga beberapa dibangun berbatasan dengan perairan di atas batas pasang yang bertujuan untuk memudahkan kapal mereka untuk menepi. Selain menjadi nelayan, masyarakat di desa tersebut juga memanfaatkan dataran berair tersebut untuk membuat area persawahan. Sawah tersebut dikelilingi pepohonan air payau dan alang-alang yang tinggi dengan kanal-kanal saluran irigasi yang mengalir di seluruh tepiannya. Dapat diketahui juga bahwa kerrang-kerangan adalah salah satu makanan sehari-hari yang umum di dusun ini. Hal itu ditunjukkan dengan sampah kulit kerrang yang menumpuk di belakang rumah salah-satu warga. Area sawah dan vegetasi di sekitarnya merupakan tempat tujuan pendataan burung air oleh tim kami. Burung-burung tersebut berterbangan dan bersembunyi Ketika mendeteksi kehadiran manusia, sehingga pengamatan dilakukan dengan mengendap-endap dan berhati-hati.

DUSUN MOTEAN

Hari pertama AWC kali ini bertepatan pada hari Jumat sehingga kami dari tim perahu 2 langsung mengubah arah tujuan kami menuju ke Desa Motean terlebih dahulu untuk mengejar sholat Jumat. Motean merupakan salah satu pulau di kawasan Segara Anakan, yang terletak di Desa Ujungalang Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Penamaan pulau ini diambil dari nama kerang mutiara yang banyak dihasilkan di daerah tersebut pada zaman dahulu. Warga sekitar menyebut kerang mutiara dengah istilah mote, sehingga terciptalah nama Motean. Penduduk desa Motean sendiri tadinya merupakan penduduk pulau Nusakambangan, sebelum pulau itu difungsikan sebagai penjara. Namun seiring berfungsinya Nusakambangan sebagai pulau penjara, masyarakat direlokasi ke tepian pulau. Desa Motean memiliki penduduk dengan mata pencaharian rata-rata sebagai nelayan. Namun, selain nelayan banyak juga ditemukan yang berkerja sebagai penghasil sapu lidi. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya daun kelapa yang dijemur di depan pekarangan warga untuk dijadikan sapu lidi. Setelah sholat Jumat dan Ishoma kami melanjutkan pendataan burung di desa tersebut terlebih dahulu. Tidak banyak burung yang teramati di desa tersebut karena keramaian yang ada, namun terdapat burung-burung kecil yang masih teramati.

PULAU PASANG SURUT

Mengamati Kawanan Gajahan Penggala di Kala Senja

Pengamatan kawanan Gajahan Pengala (Numenius phaeopus)

Gajahan Penggala (Numenius phaeopus) termasuk merupakan burung dalam famili Scolopacidae. Burung ini dapat ditemui dalam kawanan maupun individu dengan mengeluarkan suara lengkingan yang khas ketika terbang. Pada hari pertama, di kala senja di saat burung-burung lain mulai pulang menuju sarang, kedua perahu peneliti sedang dalam perjalanan pulang kembali menuju dermaga. Di tengah perjalanan, dengan latar cerobong asap pabrik industri, air laguna sedang dalam kondisi surut dan memunculkan pulau-pulau yang sedari pagi terendam air. Pulau-pulau kecil tersebut merupakan tempat mencari makan bagi burung-burung air termasuk Gajahan penggala. Tim pengamat mendapati kawanan burung yang terdiri dari 20 ekor burung yang sedang mencari makan di tanah berlumpur. Air yang surut membuat laguna menjadi aman untuk ditapaki, tim pengamat kemudian turun dari perahu dan dengan seksama mengambil gambar dan video dari kawanan burung air tersebut. Sungguh senja yang menawan.

Gajahan Pengala (Numenius phaeopus)

PASANG SURUT AIR

Munculnya pulau-pulau pasang surut

Kenampakan pulau-pulau yang muncuk di kala terjadi surut

Tumbuhan mangrove merupakan jenis tumbuhan yang memiliki adaptasi unik untuk dapat bertahan hidup pada perairan dengan sainitas sedang hingga tinggi. Kumpulan vegetasi tersebut seringkali membentuk hutan mangrove yang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan dengan sedimentasi yang tinggi, daerah pasang surut dengan ombak yang minim, dan salinitas sedang hingga tinggi. Kondisi lingkungan tersebut dapat diatasi oleh adaptasi mangrove berupa akar napas yang muncul dari permukaan tanah. Akar tersebut berfungsi untuk membantu tumbuhan dalam mengambil oksigen dan proses fotosintesis. Habitat mangrove terletak di daerah pasang surut karena berdekatan dengan laut. Hal tersebut menyebabkan hutan mangrove memiliki volume genangan air yang dinamis. Pada umumnya air akan pasang dari pagi hingga tengah hari, kemudian berangsur surut menjelang sore hari, kembali pasang pada malam hari, dan kembali surut pada waktu dini hari. Kondisi lingkungan pada hutan mangrove tersebut tentunya mempengaruhi kehidupan lain di dalamnya, termasuk perilaku burung. Fluktuasi keadaan air tersebut menyebabkan burung-burung yang hidup di daerah tersebut beradaptasi dengan menyesuaikan kondisi yang tepat untuk keluar dan beraktifitas. Umumnya burung akan paling aktif pada saat pagi hari untuk keluar sarang dan mencari makan dan pada sore hari untuk mencari makan dan kembali ke sarang. Hal tersebut didukung dengan kondisi lingkungan yang sedang surut sehingga sedimentasi di tengah perairan akan membentuk gugusan pulau-pulau kecil yang kaya akan kerang, siput, dan makanan burung air lainnya. Pada saat air pasang, sumber makanan burung tersebut akan tergenang, sehingga burung akan memilih untuk beristirahat.

Bersambung Part 2 ….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *