Tiap Kepakan Berjuta Harapan.

Sebuah perjalanan menuju keindahan ciptaan Tuhan setinggi 3153 mdpl

 

Menuju Kota Berkumpulnya Hutan

29 Agustus 2019, pagi itu sinar matahari mulai mengisi celah di antara rindangnya pepohonan di area kampus. Dengan perasaan campur aduk, satu persatu kami tiba di Sekretariat Bersama. Kami saling berkomentar tentang pakaian kami, yang memang disengaja sama untuk memakai kaos hasil desain sendiri. Sejenak kami melakukan briefing, sarapan, dan mengecek kembali perlengkapan kami untuk 4 hari kedepan. Saat semua dirasa sudah cukup, dan tak ada perlengkapan yang tertinggal, kami pun bergegas menuju bus antarkota, pengantar kami menuju perjalanan singkat yang terasa panjang ini.

Pukul 07.30 WIB, kami berangkat menuju kota Wonosobo, kota berkumpulnya hutan. Perjalanan ini kami tempuh dengan tujuan akhir basecamp pendakian Gunung Sindoro via Sigedang. Perjalanan kami terasa berbeda dari biasanya. Yang seringnya kami harus terjaga sepanjang jalan, kini dapat berbagi canda tawa hingga terlelap dalam perjalanan. Keberadaan Afi turut memecahkan suasana hening dan membosankan saat di dalam bus. Di tengah perjalanan menuju basecamp, kami sempatkan mampir ke beberapa tempat. Asrama Haji Wonosobo menjadi tempat pertama yang kami singgahi. Kami menemui pihak RAPI untuk bersilaturahmi dan sedikit berdiskusi tentang skema komunikasi kami selama pendakian nanti dengan yang ada di Yogyakarta.

Perjalanan pun berlanjut menyinggahi Pasar Kejajar, Polsek, ATM, dan Puskesmas yang jaraknya berdekatan. Sesampainya di pasar, tak disangka hanya tinggal beberapa pedagang saja yang masih berjualan. Ternyata informasi yang kami peroleh tidak sesuai dengan realita yang ada. Sembari mengelilingi pasar, kami mencoba menghubungi pihak basecamp, barangkali di sekitaran basecamp ada penjual sayur keliling menjajakan dagangannya. Alhasil, setelah cukup lama berkeliling di pasar, kami memutuskan untuk membeli beberapa buah dan bumbu dapur. Dan sisa keperluan seperti sayur pokok kami putuskan untuk dibeli di basecamp saja.

Perjalanan kami sempat terhenti cukup lama, karena keraguan pak sopir yang mengira bahwa busnya tak mampu sampai di lokasi basecamp. Cukup lama kami berdiskusi dengan pak sopir, akhirnya bus pun melaju menuju basecamp Gunung Sindoro. Tampak jelas dari jendela bus, Gunung Sindoro terus melambai seakan menyapa kami untuk segera tiba di atas sana.

Keputusan yang Beresiko

Sesampainya di basecamp, kami bergegas menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan oleh pihak basecamp. Sembari menunggu maghrib tiba, kami pun beristirahat dan mulai melakukan registrasi. Ada pula dari kami yang mencoba berinteraksi dengan warga lokal, dan bermain bersama anak – anak sekitar. Yah, suasana tampak syahdu sekali kala itu.

Malam tiba, kami pun mulai membongkar carrier kami, mengeluarkan semua logistik yang dibawa. Mencatat manajemen logistik kami, berupa makanan yang berpotensi menjadi sampah yang mengotori Gunung Sindoro. Tiap bungkus makanan, permen, hingga obat kami hitung dan data satu per satu. Yah, sangat merepotkan dan  menjadi perdebatan karena kebijakan ini justru merubah manajemen kami. Akhirnya demi kebaikan bersama, kami pun sepakat untuk tidak meninggalkan sampah plastik di atas nanti. Memegang janji seorang anak mapala yang dikata mahasiswa pecinta alam, untuk selalu mencintai dan membersamai alam.

 

Setelah selesai pengecekan logistik, kami pun melakukan evaluasi dan briefing. Semakin malam, udara terasa mulai dingin, dan angin bertiup sangat kencang malam itu. Beberapa dari kami mulai kedinginan, Ibrahim dan Agnes salah satunya. Kala itu kondisi Agnes cukup buruk, ditambah lagi kondisi lingkungan sekitar yang sedang tak bersahabat. Terkait hal di luar nalar, menjadi alasan yang cukup kuat mengapa pihak basecamp tak menyarankan kami untuk melakukan pendakian di esok hari. Dibuat pusinglah kami, yang tinggal melangkahkan kaki menuju puncak, justru tertahan dengan ketidakpastian. Setelah malam yang cukup panjang mendiskusikan nasib kami ke depan, akhirnya terbentuklah satu keputusan. Keputusan akhir yang berat bagi kami, untuk tidak mendaki apabila kondisi Agnes tak kunjung membaik di esok hari. Keputusan yang cukup beresiko ini membuat kami mengakhiri malam yang panjang dengan beristirahat.

Setelah sekian Sambatan

Pagi pun tiba, puji syukur kondisi saudara kami, Agnes kian membaik. Dengan penuh rasa gembira kami sepakat untuk mendaki hari ini dan mulai bersiap – siap. Sebagian dari kami berbelanja sayur yang tak sempat kami beli kemarin.  Syukur, pagi itu ada abang tukang sayur yang keliling di sekitaran basecamp. Walau kurang sesuai dengan manajemen yang sudah kami susun di Jogja, setidaknya asupan nutrisi kami tercukupi selama pendakian nanti. Setelah kami selesai berbelanja sayur, kami mulai mengemas dan menyelesaikan packing.  Tak lupa kami juga sarapan untuk mengisi tenaga, karena perjalanan kali ini akan cukup panjang. Setelah semua dirasa sudah siap dan tak ada yang tertinggal, kami pun melakukan pemanasan agar otot – otot kami tidak kaku selama perjalanan. Setelah menyelesaikan registrasi akhir, kami pun mengangkat carrier, dan berdoa, memohon keselamatan pada Tuhan, pencipta alam dan seisinya yang kami singgahi.

Pukul 07.11 WIB, dengan wajah berseri dan semangat yang membara, kami memulai perjalanan menuju pos 1. Dipimpin oleh Maul sebagai leader kala itu, perjalanan kami dimulai. Sungguh, sejak dari basecamp perjalanan kami dimulai dengan menapaki jalan aspal yang sudah cukup menanjak. Lebih melelahkan dari perkiraan kami ternyata, menapaki aspal hitam yang menanjak dibanding tanah berbatu yang lebih menanjak. Belum habis jalan aspal, perjalanan kami sempat terhenti karena Agnes mulai dalam kondisi kurang baik lagi.

Dengan ditemani panasnya matahari yang kian memanas, kami pun melanjutkan perjalanan karena kondisi Agnes juga sudah kembali seperti sedia kala. Untuk sampai di pos 1 kami perlu melewati pos bayangan, penanda perbatasan jalanan aspal dengan jalanan tanah. Setelah sekian sambatan kami yang tak kunjung sampai di pos bayangan, akhirnya kami tiba di pos bayangan. Saat kaki kami mulai melangkah di atas jalanan bertanah, hamparan kebun teh yang luas nan hijau menyambut kami. Tepat di depan kami, Sindoro sudah nampak menggoda dari nan jauh di sana. Melihatnya saja kami sudah terkagum, makin terbakarlah semangat kami. Karena medan yang lebih banyak datarnya, membuat perjalanan kami menjadi lebih singkat.

Betapa bahagianya kami yang akhirnya tiba di pos 1. Layaknya anak kecil, kami berlarian menuju gubuk yang ada di pos 1, dan menurunkan carrier disana. Di tempat ini kami melakukan serangkaian IMPK (Ilmu Medan Peta dan Kompas) dan pengambilan data penelitian. Pada pendakian ini kami mengambil penelitian mengenai kapasitas camp di sepanjang pos jalur pendakian Sigedang, Gunung Sindoro. Dengan membagi potensi yang ada kami menyelesaikan pengambilan data penelitian dan IMPK.

Semesta yang Membersamai Kami

Setelah menyelesaikan penelitian dan IMPK, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Perjalanan menuju pos 2 masih ditemani dengan kebun teh yang hijau. Medannya kali ini mulai sedikit menanjak dan agak berdebu daripada medan menuju pos 1. Tak butuh waktu lama, kami akhirnya tiba di pos 2.  Karena ternyata posisi matahari sudah tepat diatas kepala, kami pun memutuskan untuk beristirahat cukup lama, mengambil data penelitian hingga memakan bekal yang telah dibawa dari bawah. Sesekali angin sejuk berhembus ke arah kami yang sedang bercanda dan bersenandung ria. Menembus celah panasnya matahari, huh nyaman sekali rasanya.

Perjalanan terus berjalan, kami berlanjut menuju pos 3. Medan yang mulai menanjak, dan sesekali kami berhenti karena kondisi Agnes yang mulai kewalahan. Namun tak masalah bagi kami jika memang harus berhenti sesekali di tengah pendakian. Setidaknya disetiap berhenti dan beristirahatnya kami, terselip rasa bahagia akan candaan dan cerita yang kami lontarkan satu sama lain. Sesekali kami berbincang dan menghayal tentang masa depan kami. Karena dengan canda dan cerita itulah kami justru menyemangati Agnes secara tidak langsung.

 

Siang itu langit masih sangat cerah. Gumpalan awan putih masih menghiasi langit yang kian membiru, terlihat seakan berjalan berdampingan dengan matahari yang tak lagi semenyengat sebelumnya. Seakan – akan semesta sedang membersamai kami, mengiringi perjalanan kami menuju pos 3 yang akan terasa berbeda daripada perjalanan sebelumnya. Tibalah kami memasuki wilayah hutan yang cukup rimbun, setelah melewati hamparan kebun teh yang cukup lama.

Pukul 14.15 WIB, terlihat palang tanda pos 3 berdiri kokoh bersama bendera Merah Putih, menandakan kami telah tiba di pos 3. Segeralah kami membagi potensi untuk mendirikan tenda, memasak, dan melakukan penelitian agar terlaksana secara bersamaan. Langit sore kala itu masih cerah dan indah. Kencangnya angin yang berhembus, dan lokasi camp yang terbuka tanpa adanya vegetasi membuat kami kesulitan membangun tenda. Saat malam tiba, dan tenda telah terbangun, kami pun melakukan makan malam, evaluasi, dan briefing. Karena malam sudah semakin larut, kami bergegas tidur. Memulihkan tenaga kami untuk pendakian di hari esok.

 

Medan yang Tak Logis

Ditengah nyenyaknya tidur, tiba-tiba seruan Dani dan Ibrahim membangunkan kami. Dengan setengah terperanjat kami semua terbangun. Tak disangka tenda kami hampir rubuh dan flysheet penutup tenda nyaris terbang karena terpaan badai angin malam itu. Jam menunjukkan pukul 02.30 WIB, karena memang sudah saatnya bangun, akhirnya kami lebih memutuskan untuk bangun dan membongkar tenda serta mulai mengemasi barang kami. Dengan menu roti isi dan beberapa cemilan serta minuman hangat, kami mengisi sarapan pagi itu.

Dinginnya angin pagi yang berhembus kencang cukup menusuk sampai ke tubuh. Dari gelapnya langit pagi itu, terlihat secercah cahaya mentari yang jingga menyala, memecah sisi gelap gulitanya langit, menyinari separuh punggungan Gunung Sindoro. Saat kami menengok ke arah bawah, nampak pemandangan pemukiman warga dan alam sekitar yang mengelilinginya. Dan di belakang kami terpampang jelas sebuah tanjakan curam menuju puncak Gunung Sindoro. Melihat kedua pemandangan ini membuat kami merasa, “Ah sudah sejauh ini ternyata kami melangkahkan kaki. Yok semangat yok!”. Sedikit rasa cemas akan curamnya medan yang akan dilalui nanti tak cukup menyurutkan semangat kami. Setelah kami selesai mengemasi barang dan melakukan pemanasan, pendakian pun dimulai.

Dengan doa dan semangat yang menyertai, kami mulai melangkahkan kaki menuju puncak Sindoro. Sekitar pukul 06.00 WIB, perjalanan pun dimulai menuju Ladang Batu 1. Matahari yang masih tampak setengah di sisi timur Sindoro seolah berjalan menemani kami mendaki. Awal perjalanan kami menuju Ladang Batu  1 memang terasa sedikit lambat dan melelahkan. Disaat matahari mulai berada disepenggalah langit yang biru, akhirnya kami sampai di pos Ladang Batu 1. Pos ini tak tampak seperti pos biasanya, hanya palang bertuliskan Ladang Batu 1 yang menandakan kami telah tiba di pos ini. Karena kondisi pos berada di area yang curam, kami pun hanya berhenti sejenak untuk mengatur nafas.

Perjalanan berlanjut, dan tak membutuhkan waktu cukup lama kami tiba di pos 4. Jarak yang kami tempuh antara Ladang Batu 1 dengan pos 4 cukup pendek. Di pos 4 ini juga hanya ditandai batu besar dengan disertai palang pos 4 yang sudah rusak. Kami memutuskan untuk beristirahat sekitar 15 menit, karena terdapat tempat yang cukup datar meskipun sangat sempit dan terbatas. Di tengah istirahat, kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang menuruni gunung Sindoro dan sedikit mengajak berbincang.

Tanpa hadirnya vegetasi di sepanjang jalan, membuat kami cukup kesusahan dalam mendaki. Ditambah lagi medan yang kami lalui berupa tanah pasir berbatu yang curam. Sesekali keberadaan perdu tanaman Cantigi yang jarang ini, cukup membantu kami dalam mencari pegangan saat mendaki. Dalam perjalanan menuju pos Ladang Batu 2 setelah pos 4 ini terasa sangat panjang dan lebih menguras tenaga. Mental kami mulai turun, sepanjang jalan hanya keluh yang menemani perjalanan kami. Apalagi matahari mulai menyengat kala itu. Sesekali terdengar sambatan, “Tunggu.”, “Medannya ga logis”, “Kapan sampainya?!”, “Masih jauh po?” . Namun beribu kali kami saling menguatkan satu sama lain dengan sisa – sisa semangat yang masih ada. Saling menunggu saat jarak terpaut jauh, saling mengulurkan tangan saat kaki tak mampu menjangkau. Ditengah keluh dan semangat itu, tanpa sadar kami telah tiba di Sabana. Dataran yang luas nan landai, membuat kami merasa lega. Dari tempat kami berpijak, sudah nampak asap putih yang menjulang di atas sana, pertanda puncak sudah dekat.

Bau belerang yang membayar lunas perjuangan

Hamparan tanah berumput yang landai dan semangat yang menggebu – gebu membuat langkah kami terasa ringan dan jauh lebih cepat. Raut wajah kami yang semula lesu mendadak tampak segar selama perjalanan dari sabana menuju puncak. Tak terasa setelah 15 menit lamanya kami melewati Sabana dan Segara Wedi, tibalah kami di sana. Ya, tempat yang kami dambakan akhirnya terpijaki, tepian mulut kawah setinggi 3153 mdpl, puncak Gunung Sindoro. Perasaan haru dan bahagia menyelimuti suasana di puncak kala itu. Dari atas 3153 mdpl ini, kami memandangi betapa indahnya Gunung Sindoro dan jajaran gunung lain yang mengelilinginya. Keindahan ini menjadi pengingat bagi kami bahwa tak ada yang lebih kuasa selain Tuhan, pencipta alam semesta seisinya. Kami disambut tepat di depan mata oleh Sang Sindoro dengan kawah putih yang menyemburkan asap belerang. Bau belerang yang sesekali tercium menjadi saksi bisu terbayarkannya dengan lunas seluruh perjuangan kami. Mulut tak henti mengucap syukur kepada Tuhan, karena atas izin-Nya kami telah tiba di atas sini. Pelukan, sorakan, dan nyanyian menghiasi kebahagiaan dalam kami merayakan pencapaian ini. Karena setelah sepersekian langkah, sambatan, dan tangisan akhirnya kami mengepakkan sayap di atas Gunung Sindoro yang berdiri kokoh.

 

Dari perjalanan ini, kami menyadari bahwa puncak bukanlah segalanya, dan perjalanan kami belum terhenti sampai sini. Setidaknya, kami sudah berani untuk mulai melangkah. Menjadi sebuah kehormatan sekaligus kebanggaan bagi kami, untuk dapat bersama – sama, mengepakkan sayap – sayap kami yang kadang terlihat lemah. Karena dari tiap kepakan sayap kami, terselip berjuta doa dan harapan.

Tak Ada Penghalang!

TAP!TAP!TAP!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *