SEPETIK CERITA DARI ATAP PULAU JAWA

7 Agustus 2018. Dingin pagi masih menyelimuti disaat bus yang menghantarkan kami tiba di Kota Yogyakarta. Geliat kehidupan masih belum terasa di kota pelajar tersebut. Terlihat hanya sebagian motor dan beberapa mobil bergantian melesat dijalanan yang renggang. Beberapa dari kami masih terjaga dalam lelap, bersandar diatas kursi yang sebenarnya dibuat hanya untuk duduk. Namun perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan telah mengantarkan kami pada satu pemahaman bahwa  dimanapun kita berada lelah tak akan dapat dilawan.

 

Jam tangan menunjukan pukul 03.00 WIB disaat bus yang kami tumpangi berhenti di bawah jembatan Janti, Yogyakarta. Setelah menempuh perjalanan sekitar 8 jam, terhitung dari Terminal Arjosari Malang dan sempat beristirahat di Ngawi untuk makan malam,  kini akhirnya kami tiba di kota kami berasal. Bukan, maksud kami  kota dimana kami berkumpul, belajar, berkembang dalam satu lingkaran. Namun demikian, di kota ini kami merasa kembali dilahirkan. Dengan pengalaman, keluarga, dan hal-hal baru yang kami temukan.

7 hari sebelumnya perjalanan panjang telah kami lalui. Kami yang menjadi tim Pendakian Wajib Gladian XXXIII Walabi (Macropus agilis) Mapala Silvagama berangkat bersembilan beserta tiga pendamping dari Kota Yogyakarta menuju Kota Malang untuk menjelajahi gunung tertinggi Pulau Jawa. Pendakian Wajb ini merupakan tahapan yang harus kami lalui untuk naik jenjang dari sapling member menjadi poles member. Namun bagi kami ikhtikat pendakian wajib ini bukan sekedar kenaikan jenjang semata, lebih dari itu pendakian wajib bagi kami adalah sepaket perjalanan yang menghantarkan kami kepada kedewasaan untuk berfikir, bertindak, bergerak dan mengikat antar kami satu gladian XXXIII Walabi (Macropus agilis).

Selain belajar untuk bermenejemen yang baik di lapangan melalui pendakian, kami juga belajar untuk menjadi mahasiswa yang dapat menjadikan gunung sebagai obyek pembelajaran melalui penelitian. Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan di Gunung  Semeru maka kami mengangkat penelitian dengan  judul “Pola Persebaran Verbena brasiliensis di Jalur Pendakian Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa Timur”.

Perjalanan kami awali dari Yogyakarta menuju Malang menggunakan kereta api. Di hari itu juga kami singgah di Sekretariat Impala Universitas Brawijaya untuk bermalam sambil memupuk bibit silaturahim. Kami disambut ramah dan hangat oleh mereka. Namun kami tak berlama-lama disana karena keesokan harinya  kami harus berpamitan untuk melanjutkan kegiatan kami menuju Ranu Pani.  Kami berangkat menggunakan angkutan umum menuju Pasar Tumpang kemudian dilanjut menggunakan Jeep untuk menuju Ranu Pani. Selanjutnya kami melakukan pemaparan rencana penelitian kepada Resort Ranu Pani setelah sebelumnya kami juga sudah melakukan presentasi di Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS).

Pagi hari, tanggal 3 Agustus 2018 tim mengikuti briefing dengan Sahabat Volunteer (Saver) Semeru untuk memberikan informasi kepada pendaki. Selepas briefing tim melakukan pemanasan sebelum dilanjut pendakian dari Ranu Pani sampai dengan Ranu Kumbolo untuk tempat membuat shelter. Pada ketinggian 2250 mdpl dilakukan pengambilan titik pertama, namun kondisi lapangan yang sempit dan dekat jurang memungkinkan kami hanya mengambil 1 petak ukur saja. Setibanya di Ranu Kumbolo kami langsung bergerak membuat shelter karena hari sudah semakin gelap. Dingin Ranu Kumbolo kala itu sangat terasa menusuk kulit sehingga mengharuskan kami untuk segera membuat makan malam dan briefing untuk esok hari kemudian istirahat.

Pagi tiba, aktivitas kembali dimulai. Ada hal menarik, bukan tanpa alasan mengapa semakin dingin pagi itu karena suhu Ranu Kumbolo mencapai titik -1ºC  sehingga membuat es menempel di tenda-tenda dan juga rumput disana. Kejadian langka yang baru kami alami untuk pertama kalinya. Setelah packing kami melanjutkan pendakian dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati. Pengambilan titik kami selanjutnya pada ketinggian 2450 mdpl, tepatnya di Oro-oro Ombo. Verbena brasiliensis saat itu diluar dari ekspetasi kami, terlihat kering dan tandus karena memang sedang musim kering. Tak mengambil waktu lama kami langsung bergegas menarik tali, mengukur, dan mencatat data ke dalam tally sheets.

 

Pengambilan data ketiga terletak pada ketinggian 2750 mdpl yaitu di Pos Jambangan dan dilanjutkan pendakian menuju pos terakhir hari itu yaitu Pos Kalimati. Dari tempat kami berdiri, terlihat jelas puncak para dewa yang merupakan titik tertinggi di pulau ini. Kami mulai membangun shelter, satu persatu dari kami pun mengerjakan tugasnya masing-masing. Seperti malam sebelumnya kami bercengkrama sembari membuat makan malam, berharap percakapan ini menghasilkan suasana yang hangat. Selesai makan malam kami menyiapkan segala perlengkapan secara cermat untuk melakukan pendakian menuju Puncak Para Dewa yaitu Puncak Mahameru.

Walaupun kami telah mendapatkan izin dari pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kekhawatiran tetap muncul dibenak kami dengan mempertimbangkan segala macam hal yang mungkin terjadi dalam menaklukan puncak tertinggi di Pulau Jawa itu. namun kami menampis keraguan itu dengan tekad dan keyakinan bahwa kami mampu. Beruntungnya Kalimati tidak sedingin Ranu Kumbolo sehingga kami  dapat istirahat lebih nyenyak malam itu dan dapat mempersiapkan tenaga untuk esok hari.

Waktu terus berputar hingga jam menunjukan pukul 00.00 WIB saat kami terbangun dari istirahat malam. Semua perlengkapan sudah kami siapkan dan tentunya tidak lupa untuk berdoa sebelum melakukan pendakian menuju puncak. Kaki melangkah dengan mantap menghilangkan ragu. Dengan kompak kami menyemangati satu sama lain sembari mengingat selalu pada yang kuasa. Sunrise muncul di tengah perjalanan kami menuju puncak. Samudera awan yang berada disekeliling kami menambah semangat untuk terus berjalan keatas.

Ada yang janggal ketika kami naik. Entah mengapa jalan yang kami lalui seperti tidak ada habisnya padahal kami merasa sudah berjalan cukup lama. Pendaki yang kami lihat tak sebanyak sebelumnya, satu per satu dari mereka memutuskan untuk turun. Kami tidak boleh seperti mereka, kami harus bisa sampai atas. “Bendera sudah terlihat, ayo tinggal sejengkal lagi. Jangan menyerah, sudah hampir sampai”. celetuk salah satu dari kami ketika melihat ada yang kelelahan, berusaha untuk membuatnya kembali bersemangat lagi. Beberapa dari kami menunggu anggota lainnya tepat dibawah sebelum puncak agar keinginan ke puncak secara bersama-sama tercapai. Wajah kegirangan mulai terpancar diantara kami. Sepenuhnya kaki kami menapaki puncak, 9 kepala Walabi telah mampu melawan segala ketidakmungkinan. Rasa syukur kami ucapkan, rasa lelah sirna melihat keindahan tanah jawa dari ketinggian. Kepulan asap freatik menambah nuansa hati kami yang meledak karena kegembiraan.

Baru kali ini kami merasakan begitu menyenangkannya turun dari puncak. Berasa bak pemain sky kami turun diantara batu dan pasir tanpa rasa lelah. Tidak sebanding memang dengan ketika kami naik yang menghabiskan waktu 6 jam dan turun hanya 2 jam, tapi disitulah uniknya. Sesampainya di Kalimati kami istirahat sebentar dan makan siang. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo untuk bermalam lagi disana. Sepanjang perjalanan turun kami juga mengambil data keempat pada ketinggian 2650 mdpl dan 2550 mdpl. Usai mengambil data kami langsung bergerak cepat menuju Ranu Kumbolo karena hari sudah cukup gelap. Malam itu malam terakhir kami di Ranu Kumbolo. Langit pun sedang berhias, bintang terlihat jelas dan tampak memenuhi konstelasi atap semesta . Suasana kala itu syahdu dan damai. Namun sayangnya kami tak bisa berlama-lama larut dalam pameran malam itu sebab esok masih ada waktu yang harus dikejar dengan raga yang segera diistirahatkan.

Suasana pagi di Ranu Kumbolo tetap terasa luar biasa. Selesai masak kami memutuskan untuk sarapan diluar menikmati sinar matahari sebagai penghangat tubuh. Bukan mau berlama-lama tapi kami sungguh ingin memanjakan mata kami dan bercengkrama satu sama lain. Selesai sarapan kami segera packing dan membongkar shelter. Selanjutnya menuju Pangonan Cilik untuk mengambil titik terakhir. Cukup tersebar Verbena brasiliensis disana. Setelah mengambil data kami melakukan sesi foto bersama memakai banner gladian sebelum kami melanjutkan perjalanan. Pos per pos kami lewati dengan semangat. Ketika berada di pos 3, semangka dan gorengan terasa sangat menggiurkan. kami memutuskan membeli sembari untuk rehat sejenak. Sesampainya di Ranu Pani kami langsung makan siang di rumah makan disana. Beberapa dari kami ada yang melaporkan hasil sementara penelitian ke Resort Ranu Pani sekalian pamitan untuk  pulang. Perjalanan dari Ranu Pani menuju Pasar Tumpang masih memakai Jeep dilanjut angkutan umum menuju Terminal Arjosari.

Di terminal kami membersihkan diri dahulu sebelum masuk ke bus. Bus berangkat dari Terminal  Arjosari pukul 07.37 WIB dan rest di Ngawi pada pukul 00.00 WIB untuk makan malam. Setelah makan malam perjalanan bus dilanjutkan. Singkat perjalanan kami tiba di Janti sekitar pukul 03.00 WIB, dilanjut perjalanan menuju Sekretariat Mapala Silvagama. Segera kami bongkar packingan kami dan mencuci semua peralatan. Mengantungkan perlengkapan yang masih basah di ujung ruang serta cerita yang masih hangat di bilik pikiran.

Sekali lagi, bagi kami pendakian wajib ini bukan hanya sekedar pendakian biasa. Bukan hanya soal pendakian yang dilakukan bersama – sama. Namun pendakian ini merupakan tempat dimana kita sama – sama berproses, sama – sama memikul rasa, serta memupuk kedewasaan kami menjadi mahkluk yang lebih baik. Saling mengerti dan memahami satu sama lain atas dasar kekeluargaan adalah kunci keberhasilan pendakian kami.

Kebersamaan dalam tenda telah mengalahkan dinginnya Ranu Kumbolo kala itu. Obrolan hangat diantara kami menambah suasana damai malam itu. Mungkin moment ini akan sulit kami dapatkan setelah ini. suatu saat kami akan mendapatkan tanggung jawab yang berbeda di keluarga besar kami, mungkin kami akan sulit mendapatkan waktu luang  untuk bersama – sama kembali.

Pendakian wajib, melahirkan semangat baru bagi kami. Manis rasanya mengingat bersama – sama melawan dinginnya Ranu Kumbolo, menakhlukkan pasir menuju puncak, dan pengambilan data yang melelahkan. Tak hanya itu, pengalaman ini hanya kami yang merasakan. Maka melalui pendakian wajib ini kami memahami satu hal, jika kita bersungguh-sungguh dalam suatu pencapaian. Maka sampai kapanpun hal yang selalu kita ingat, adalah prosesnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *