Cerita Perjalanan : Menghempas Jeram-jeram Kandangan

 

Pengembaraan Arung Jeram Gladian XXXIII Walabi (Macropus agilis) Mapala Silvagama

Oleh : Edwin Perdana Gaso & Nadya Damayanti

Tanggal 8 Maret 2018, Kami berangkat dari sekretariat Mapala Silvagama menuju salah satu operasional arung jeram di Magelang menggunakan kendaraan bermotor. Hujan turun dengan derasnya kala itu. Di benak kami masing-masing pun sempat terpintas, “Jika hujan turun berkepanjangan, mungkin saat pengarungan nanti debit air sungai akan naik”. Perasaan bercampur tak tentu, antara harus gembira atau gelisah.

Singkat cerita, malam harinya tibalah kami di start point pengarungan, yaitu Jembatan Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. Lokasi tersebut merupakan start point sekaligus spot river camp hari pertama kami. Dengan berbekal ilmu river camp dari “mapala tetangga”, kami langsung membangun bivak dari dua perahu yang ada. Setelah bivak sudah berbentuk, kami mengadakan briefing untuk pengarungan hari esok agar semua targetan yang telah disusun tepat sasaran.

Silaunya sinar matahari dan kencangnya suara aliran sungai membangunkan kami di hari kedua. Hari itu cerita baru akan tertulis. Kami belum pernah mengarungi sungai dengan 48 km, panjangnya. Dengan penuh semangat, kami menyiapkan peralatan pengarungan mulai dari peralatan pribadi, perahu, repair kit, p3k kit, dan yang lainnya. Setelah semuanya selesai, kami pun siap untuk melakukan pengarungan. Pengarungan kami waktu itu diramaikan dengan adanya tambahan perahu dari Forumnya Arung Jeram Yogyakarta (FAJY) dan Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Temanggung.

Persiapan telah selesai, dan pengarungan pun dimulai. Selang beberapa detik kami langsung menjumpai jeram. Jeram tersebut cukup mengagetkan kami, dimana terdapat main stream deras yang menabrak dinding sungai berupa tebing. Saat memasuki jeram tersebut, sudut perahu sengaja kami arahkan ke kanan hulu agar bisa mengambil ancangan untuk menghindari tebing dengan dayungan maju. Namun, perahu tetap menabrak tebing. penyebabnya ternyata laju perahu terlalu cepat saat memasuki main stream sehingga kami tidak memiliki waktu yang cukup menghindari tebing. Hal itu merupakan awalan yang buruk, tetapi tidak menghilangkan semangat para awak perahu untuk mengarungi jeram-jeram khas progo hulu selanjutnya. Setelah semua perahu melewati jeram pertama, pengarungan dilanjutkan.

Agar tidak terjadi kesalahan seperti saat di jeram pertama, pada beberapa jeram berikutnya kami melakukan scouting. Tanpa disadari, kami sudah sampai di jeram yang cukup unik. Pada jeram tersebut terdapat dinding sungai yang terkikis sehingga membentuk rongga. Jeram itu dikenal dengan sebutan “Silit Boyo”. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menepikan perahu untuk melakukan scouting. Dengan teliti, kami amati ornamen-ornamen yang ada di jeram dari awal hingga akhir. Jalur masuk ke jeram sudah ditentukan, kami pun kembali ke perahu dan bersiap. Perlahan, perahu kami memasuki jeram. Laju perahu kami atur agar tidak terlalu cepat. Sebelum memasuki rongga, terdapat reverse stream yang membuat perahu kami terputar arahnya. Kami melewati rongga dengan keadaan perahu terputar. Secepatnya, kami langsung mengembalikan arah perahu dan menepi, menunggu perahu yang lainnya.

Jeram-jeram berikutnya kami analisis dengan metode read and run. Metode ini dilakukan agar sampai di rest point tepat waktu. Kami pun sampai di rest point (Jembatan Kranggan, Temanggung). Kami langsung mencari tempat yang teduh, karena siang itu terasa begitu panas. Tak lupa, perahu kami tempatkan di keteduhan pula. Drybag berisi makanan dibuka, kami beristirahat sembari memakan snack siang.

Hanya ada dua perahu yang melanjutkan pengarungan karena tim dari FAJI Temanggung berencana menyelesaikan pengarungan di Jembatan Kranggan, Temanggung. Kami pun melanjutkan pengarungan hingga sampai pada sebuah bendungan. Bendungan tersebut dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan Dam Baderan. Tinggi bendungan jika dibandingkan dengan panjang perahu masih lebih tinggi lagi, sehingga kami memerlukan scouting untuk bisa melihat jalur mana yang harus dilewati. Pada saat itu, bagian kiri hulu dan tengah terdapat kawat-kawat tajam yang bisa merusak perahu. Kami pun memilih bagian kanan hulu agar terhindar dari kawat-kawat.

Perahu melaju perlahan-lahan, kami mengikuti instruksi dari awak perahu lain yang mengarahkan hingga akhirnya tiba di ujung bendungan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “ Bagaimana jika perahu kami terbalik? Apa yang akan terjadi?” tersirat dibenak kami masing-masing. Perasaan khawatir muncul saat itu juga. Namun, bagaimanapun juga sungai mengalir ke bidang yang lebih rendah. Mau tidak mau, kami sudah terlanjur sampai di ujung bendungan. Perahu melaju dengan begitu kencangnya dalam tempo waktu yang singkat saat menuruni bendungan, kami pun tiba di bawah bendungan dengan girang dan candanya ingin mengulang hal itu lagi.

Usai melewati standing wave pada akhir sesi, sampailah di lokasi river camp hari kedua, yaitu Dusun Sawah Jurang, Magelang. Setelah menepikan perahu, kami memindahkannya ke daerah landai dengan menggunakan cara portaging. Karena hari sudah mulai gelap, kami langsung membuat bivak dan menyiapkan makan malam. Hidangan makan malam sudah selesai, dengan lahapnya kami menyantap makanan. Sebelumnya, kami mendapat kabar dari SAR Temanggung bahwa hulu sedang terjadi hujan lebat, kemungkinan disitu akan hujan juga. Kami segera menyelesaikan kegiatan lalu beristirahat.

Kami beruntung karena sampai di pagi hari hujan tak kunjung turun. Namun, debit air sungai naik menandakan di bagian hulu semalam terjadi hujan. Pengarungan pun dilanjutkan. Semua awak perahu sudah siap untuk mengarungi Sungai Progo Atas. Hari itu, semangat kami bertambah karena kedatangan “barengan” dari Mapala Solo Raya. Tim dari Mapala Solo Raya menurunkan dua perahu tambahan untuk menemani pengarungan kami. Sebelum mengarungi sungai seperti biasanya, tidak lupa kami berdoa.

Jeram yang ada di Sungai Progo Atas memiliki kekhasan tersendiri, seperti Jeram Is dan Jeram Rodeo. Kedua jeram tersebut memiiki beberapa standing wave yang cukup tinggi. Di Jeram Is, kami menyempatkan untuk scouting. Jalur yang ada di Jeram Is terlihat rumit saat scouting. Ada beberapa ornamen yang bisa membuat perahu terbalik, jika kami salah memasuki jalur atau terlambat merespon jalur yang ada. Scouting selesai, kami segera menaiki perahu dan mendayung perlahan memasuki jeram. Walaupun dayungan hanya perlahan, namun laju perahu tetap kencang karena main stream sangat deras. Respon dayungan kami pun diuji di jeram itu. Ketika kami berhadapan dengan stopper, pendayung depan harus segera merespon arah perahu dengan dayung tarik dan dayu pancung, dibantu dengan skipper. Begitu pula ketika kami berhadapan dengan standing wave yang tinggi, pendayung depan harus merespon dengan dayungan tanam. Pada akhirnya, Jeram Is bisa terlewati dengan lancar. Di Jeram Rodeo, kami tidak menyempatkan untuk scouting, melainkan read and run. Setelah dirasa cukup, kami segera memasuki jeram. Di jeram ini, awak depan perahu tidak banyak melakukan dayung pancung atau tarik, melainkan dayung tanam. Hal tersebut dikarenakan ada banyak standing wave yang ada pada jeram ini.

Terasa cepat sekali pengarungan di hari itu, tak terasa kami sudah sampai di rest point hari kedua di Jembatan Tempuran, Magelang. Seperti biasa, kami sudah menyediakan snack untuk makan siang. Pada saat itu juga, tim dari Mapala Solo Raya mengakhiri pengarungan karena mereka berencana melanjutkan pengarungan di Sungai Elo, Magelang. Hari sudah siang, kami pun melanjutkan pengarungan agar sampai di finish point (Jembatan Borobudur, Magelang) tepat waktu.

Pengarungan pun berakhir dengan sisa tenaga kami yang sudah terkuras. Kendaraan yang menjemput kami tiba tepat waktu, kami diantarkannya kembali kesalah satu operasional arung jeram di Magelang. Kemudian, kami beristirahat serta makan malam lalu melajutkannya dengan perjalanan kembali ke Yogyakarta.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *