Hari Minggu diawal Oktober menjadi hari yang kami, para anggota Gladian Penyu Hijau nantikan. Menilik sedikit memori dua bulan ke belakang. Tekad kuat untuk menjadi seorang poles menjadi bekal kami mampu mempersiapkan dan melaksanakan pendakian wajib. Persiapan panjang menggapai impian yang kami gantungkan bersama untuk menuju Puncak Gunung Slamet. Dari mulai persiapan skema perjalanan hingga latihan dalam melakukan penelitian. Lima belas anak manusia dengan egonya masing-masing dihadapkan dengan satu tujuan, berusaha untuk saling memahami dan menghargai. Hingga akhirnya petualangan yang sebenarnya dimulai.
Hari Minggu, 10 Oktober 2021, kami dilepaskan dan dipercayai untuk melaksanakan Pendakian Wajib. Pelepasan 15 orang anggota tim dihadiri oleh anggota Mapala Silvagama dan Dr. Sigit Sunarta, M.P., M.Sc., S.Hut, selaku Dekan Fakultas Kehutanan Yogyakarta juga pembina Mapala Silvagama. Upacara tersebut melepaskan tim lapangan Pendakian Wajib Gladian XXXVI Penyu Hijau Mapala Silvagama menapaki ‘Atap Jawa Tengah.’ Perasaan haru menyelimuti kami haru karena kami mampu mempertahankan ke-15 keluarga kami, haru karena kami mampu mencapai titik ini bersama. Sebab dengan pelepasan ini, artinya kami sudah siap membawa Bendera Mapala Silvagama untuk berkibar di ‘Atap Jawa Tengah’ bersama-sama.
Seperti visi yang tergambar jelas dalam angan kami, di dalam bis cengkrama terdengar di sana-sini. Alunan lagu rasanya ikut mengiringi perasaan kami yang sedang campur aduk saat itu. Lelah bercengkrama, kami larut dalam wacana dengan diri sendiri. Resah dalam diri, tentang bagaimana kami menjalani hari esok, cukup mengusik kami. Tidak terasa kami telah habiskan waktu cukup lama dalam perjalanan kala supir bis memberitahu kepada kami tentang jalan menuju basecamp yang cukup sulit dilalui. Kendaraan yang kami pakai, kata pak supir, tidak mampu membawa kami lebih naik lagi. Kembali ke persimpangan sebelumnya adalah pilihan yang kami semua setujui yang kemudian bertemu dengan pihak basecamp sebagai penunjuk jalan kami menuju tempat istirahat kami di malam pertama ini. Sampai di basecamp kami merebahkan diri, beristirahat untuk memulai petualangan kami yang sebenarnya.
Hari ke-1, 11 Oktober 2021. Campur-aduk perasaan kami di pagi hari kala itu. Setelah selesai membereskan apa saja yang harus kami bawa 3 hari ke depan kami segera melaksanakan pemanasan. Perjalanan dimulai! Langkah kaki kami membawa pada setiap pos perhentian untuk kami melakukan penelitian. Seperti sudah terprogram dalam otak kami, kami langsung menurunkan carrier kami dan segera melaksanakan tugas kami masing-masing. Perjalanan berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul 11.25, kami memutuskan untuk mengisi tenaga kami dengan makanan yang telah disiapkan. Pos 2, pos yang sebenarnya tidak disarankan bagi kami berlama-lama berdiam di sana. Namun, rasanya tubuh kami sudah meraung meminta bahan bakar untuk kembali berjalan. Bisa dikatakan sebuah keberuntungan bagi kami untuk melakukan istirahat di Pos 2. Ditengah dersik dan hangatnya percakapan kami, kami bertemu dengan seekor monyet yang bergelantungan di dahan. Bukan hal yang menarik memang, tetapi mampu menambah tutur dalam percakapan siang kami.
Kembali kami lanjutkan perjalanan kami. Pos 4 menjadi tujuan kami selanjutnya. Pos yang akan menjadi tempat kami beristirahat di malam pertama perjalanan panjang ini. Pos 4 merupakan pos yang tidak begitu luas, tetapi cukup untuk kami mendirikan satu tenda kapasitas 6, satu tenda kapasitas 5, dan satu tenda kapasitas 4. Bahagia rasanya kami bisa sampai di Pos 4 lebih cepat dari perkiraan. Mungkin kami bisa sedikit lebih leluasa dalam membangun tenda nantinya, pikir kami. Namun, alam berkata lain. Tak lama berselang, kami bertemu dengan hujan di tengah jenggala ini. Hiruk pikuk terdengar di rungu kami, berharap mampu mendirikan tenda dengan cepat. Hingga malam itu, kami selesaikan semuanya ditemani dengan dinginnya alam.
Hari ke-2, 12 Oktober 2021.
Arunika sepertinya memang ingin menampakkan dirinya pada kami di pagi itu. Meski tertutup lebatnya dahan, ia tetap mampu memancarkan sinarnya sampai ke tenda kami. Hal yang selalu menjadi rutinitas kami di pagi hari, memasak. Ditemani oleh sang surya, petrikor, dan juga beberapa gelas minuman hangat, kami memasak sambil bercengkrama. Kalau kata Fatchul ini namanya ‘nge-chill.’ Waktu rasanya terus memburu kami. Setelah bersiap-siap, memasukkan kembali barang bawaan kami, segera kami tancap gas untuk menuju perhentian kami selanjutnya. Tidak lupa kami terus melaksanakan tanggung jawab kami untuk melakukan penelitian di titik-ttik yang telah kami sepakati, dengan sedikit istirahat tentunya. Dalam perjalanan kami di hari kedua ini, kami cukup banyak menemukan arbei dan murbei. Sempat kami berebut untuk dapat memakannya. Pos 6, pos kedua yang kami gunakan sebagai tempat kami beristirahat di tengah dinginnya kaki Gunung Slamet siang itu. Tak banyak percakapan dan juga tingkah kami di sana. Hanya singgah sebentar untuk menghilangkan lelah dan kembali melanjutkan perjalanan.
Cukup panjang perjalanan kami hari ini. Menuju pos 7 di jalur Bambangan, kami bertegur sapa dengan beberapa pendaki lain yang juga akan menuju ke puncak. Tak terasa kami dapat menapakkan kaki kami di pos 8 untuk kembali merebahkan diri. Segera kami dirikan tenda agar jika nantinya hujan kami sudah dapat bernaung di dalamnya. Ah! Rasanya perjalanan hari kedua ini cukup menguras tenaga kami. Beberapa dari kami merasa kelelahan, mungkin karena hujan juga. Dari hari pertama perjalanan kami, kami cukup kesulitan mendapatkan sinyal, bahkan sinyal HT ke basecamp Cemara Sakti sekali pun. Imbasnya, kami tidak mampu menghubungi basecamp Jogja, yang berakhir menimbulkan rasa khawatir. Namun, malam itu salah satu ponsel mendapatkan sinyal. Segera kami hubungi salah satu kakak-kakak kami. Rasanya malam itu tutur kami mampu memecah keheningan malam. Sedikit memudarkan rasa gelisah kami sebab kami sudah mengabarkan keadaan dan keberadaan kami. Malam ini, kembali mengistirahatkan daksa kami untuk esok hari menuju puncak yang kami impikan.
Hari ke-3, 13 Oktober 2021.
Pagi itu, kami terbangun lebih awal. Sang surya mengetuk mata kami dengan sopan, membangunkan kami untuk segera memulai aktivitas kami. Jumantara pagi itu seakan merestui kami untuk segera menuntaskan karsa kami mencapai ‘Atap Jawa Tengah.’ Bersiap-siap kembali untuk melangkahkan kaki dan membawa diri kami mencapai puncaknya. Menuju pos 9 masih dapat kami temui tanaman-tanaman, sehingga kami masih dapat melaksanakan penelitian kami. Namun, setelah pos 9, sejauh mata memandang kami tidak dapat menemukan lagi tumbuhan di sana. Maka, di pos 9 inilah titik penelitian kami berakhir. Jalanan yang curam menuju puncak rasanya cukup memaksa kami untuk berhati-hati dalam melangkah.
Di tengah perjalanan kami, terjadi ‘trouble’ pada salah seorang dari kami, Aul. Problematika di hari pertama haid menjadi teman Aul pagi ini. Sedikit perdebatan di antara kami untuk melanjutkan perjalanan kami atau tidak. Di sinilah ego kami benar-benar di uji. Lima belas kepala dengan egonya masing-masing. Entah mereka yang berusaha tetap ingin menggapai puncak bersama atau mereka yang berusaha menurunkan ego mereka untuk kembali turun tanpa mencapai puncak. Saat itupun kami juga dikejar oleh sang waktu, sebab kami harus kembali dari puncak sebelum matahari terbenam. Hingga akhirnya keputusannya tetap melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Dengan saling menguatkan, kami menapaki jalanan terjal, curam, berbatu, dan berpasir itu.
PUNCAK !!!
Rasanya, lelah kami terbayarkan. Puncak Slamet saat itu memancarkan Adiwarnanya. Memberikan kami kepuasan sebab mampu menapakinya bersama. Lima belas orang anggota Gladian XXXVI Penyu Hijau mampu mencapai puncaknya bersama-sama. Menghambur menjadi satu untuk menyalurkan rasa yang campur-aduk dalam diri kami masing-masing. Bahagia tentunya kami dapat menuntaskan Puncak Slamet dengan ketinggian 3428 mdpl. Bersama-sama kami naiki lagi tangga menuju jenjang berikutnya, jenjang Poles. Puncak memang tujuan kami. Namun, kebersamaan dan kehangatan yang kami dapatkan adalah hal berharga yang bisa kami dapatkan. Perjalanan panjang dari persiapan hingga ‘Atap Jawa Tengah’ mampu menyatukan 15 kepala dengan ego kerasnya.
Puncak memang tujuan kami. Namun, kebersamaan dan kehangatan yang kami dapatkan adalah hal berharga yang bisa kami dapatkan. Perjalanan panjang dari persiapan hingga ‘Atap Jawa Tengah’ mampu menyatukan 15 kepala dengan ego kerasnya.
WITH FONDLY from
GLADIAN XXXVI PENYU HIJAU (Chelonia mydas)